Kebetulan Yang Kebetulan

"Gue pernah baca buku Teori Daya Tarik. Jadi kayak yang gue bilang tadi.."
"Lo bilang apaan emang Tan?"
"Alam semesta, itu semuanya terkait. Kayak satu lingkaran yang ga ada putusnya, nah kayak ini.." *sambil menghembuskan asap rokok bulat-bulat
"Gue ga ngerti nyet lu ngomong apaan! Hahaha.."
"Sinkronisitas men, semesta ini bukan seperti satu garis lurus. Tapi dia satu lingkaran, dia expand, dia membesar, dan semua yang didalamnya itu berhubungan. Jadi nonsense, bullshit, kalo ada orang bilang 'Eww, ini kebetulan..'. Ga ada. Nah itu, itu yang namanya sinkronisitas, connected."
"Yang namanya sinkron, dimana-mana connected men. Hahahaha.."
"Lorenz bilang 'Kepakan sayap kupu-kupu di Hongkong, bisa menyebabkan badai di New York'. Edward Lorentz, Teori Chaos, efek kupu-kupu.. Oke, lu semua ngerti gak gue lagi ngomongin apaan? Gue ngomong apaan sih barusan?"
"Hahahahaha.."

Ini petikan dialog dalam film Rectoverso, part Hanya Isyarat. Ketika temen-temen backpackernya si Al lagi duduk-duduk menghabiskan malam ditemani sebotor bir. Mungkin buat mereka itu hanya sekedar bicara lepas untuk menghabiskan malam, dan dituturkan sedikit ngaco karena efek bir. Tapi ternyata dialog itu 'berisi' banget :')

Karena emang ga ada yang kebetulan. 

Gue banyak mendengar ataupun membaca kisah tentang sesuatu yang seperti 'kebetulan'. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya itu emang udah digariskan sama yanig diatas. Semesta berkonspirasi, dan voila, kejadian itupun terjadi seperti 'kebetulan'. Gue selalu takjub dengan cara semesta mempertemukan seseorang.

Ada satu cerita tentang teman gue. Namanya sebut saja Sisi. Waktu pulang sekolah SMA (sekitar 8 tahun yang lalu), Sisi pulang lewat rute yang berbeda dan berhenti di lampu merah, dan 'kebetulan' ada cowok-cewek yang sepertinya aktivis sedang membagi-bagikan mawar dalam rangka hari HIV/AIDS, lalu seorang diantara mereka mengetuk kaca mobil Sisi dan waktu serasa berhenti ketika mereka bertatapan. Si cowok memberi bunga dengan gugup dan tau-tau lampu hijau menyala, membuat Sisi menyesal tidak sempat berkenalan dengan cowok itu. Sisi nyetir pulang sambil melamun dan satu jam kemudian dia memutuskan kembali lagi ke lampu merah tadi, siapa tau berpapasan dengan cowok itu dan bisa kenalan. Sayang Sisi tidak beruntung karena rombongan aktivis HIV/AIDS tadi sudah tidak ada lagi disana. Sisi kecewa.

Beberapa bulan kemudian Sisi yang sedang makan bakso, ketemu lagi dengan cowok itu. Iya, cowok yang ngasi bunga di lampu merah itu. Dan akhirnya mereka berkenalan. Ternyata si cowok juga ngerasain hal yang sama, dia selalu mikirin Sisi pasca mereka ketemu. Tak lama kemudian mereka memutuskan jadian, dan setamatnya Sisi kuliah mereka langsung menikah, sekarang sudah dikaruniai anak cowok yang lucu banget.

What if, hari itu Sisi pulang lewat rute yang biasa dia lewati? Ga makan bakso pada waktu yang sama? Tentu dia ga akan ketemu jodohnya kan?
Tapi itulah takdir.

Gue juga pernah.

Waktu itu, SMA kelas 2. Gue, Mel, dan Elga iseng ikut kursus Econet (English, Computer, Internet) di salah satu lembaga pelatihan keterampilan. Hari itu, gue males banget ikut les karena materi pelajarannya adalah internet yang gue udah ngerasa expert banget. Tapi gue dipaksa sama Mel dan Elga, jadilah gue ikut. Dan materi hari itu adalah gimana caranya chat pake MIRC *haha, jadul banget. Gue join ke channel Jakarta, chat dengan beberapa cowok dengan nickname aneh-aneh sampe satu cowok dengan nama asli (tapi penulisan alay) ngajak gue chat, dan bersamaan dengan itu sesi kursus gue hampir berakhir 10 menit lagi. Gue chat asik banget dengan dia dan kita tukeran nomer hp (yang mana sangat tidak pernah gue lakukan sebelumnya). Beberapa hari kemudian dia ngehubungin gue, yang ajaibnya ternyata kita satu kota dan iseng join ke channel Jakarta, ketemuan, temenan, akhirnya jadian.

What if, hari itu gue ga jadi kursus? Ga join ke channel Jakarta? Ga tukeran nomer hp?
Mungkin gue adalah fresh graduate Fakultas Psikologi Unpad, bukannya calon fresh graduate Filkom, dan mungkin gue ga akan galau akut menahun beberapa tahun belakangan. HAHAHA KIDDING.
Tapi itulah takdir.

Banyak kan contoh kejadian yang kita rasa 'kebetulan', tapi ternyata bukan 'kebetulan'.

Mengutip kata Tano dalam Hanya Isyarat tadi, "Semesta ini bukan seperti satu garis lurus. Tapi dia satu lingkaran, dia expand, dia membesar, dan semua yang didalamnya itu berhubungan. Jadi nonsense, bullshit, kalo ada orang bilang 'Eww, ini kebetulan..'."
Begitu..

Dikerjain :/

Ini cerita beberapa hari yang lalu ketika lagi ngadap Ibu U, penguji ujian proposal TA, FYI dosen ini katanya paling killer di kampus gue

Gue : "Buk, saya mau nanya dulu masalah yang ini, belum saya perbaiki sih, mau konsul dulu, bla bla bla.."
Ibu U : "Hmm" *kemudian jelasin mana yang harus diperbaikin. "Gitu, jadi kamu pisahin semuanya.."
Gue : "Oh iya buk, makasi.." *kemudian berbalik dan jalan ngelewatin meja Bapak I

FYI Bapak I ini orangnya suka becanda dan ngasal banget.

Bapak I : "Eh main pergi-pergi aja.. Salim dulu sama Ibu U, cium tangan.. Ah kamu ni.."
Gue : "Eh.. Iya pak..", kemudian berbalik lagi ke meja Ibu U. "Buk.."
Ibu U : "Hmm, apalagi?"
Gue : "Makasi ya bu, maaf tadi lupa cium tangan.." *nyium tangan Ibu U. Ibu U senyum2 dikulum
Bapak I : "Kok cuma sama Ibu U? Sama yang ngasi saran nggak?"
Gue : "Oh iya Pak, maaf.." *salim, cium tangan Bapak I. "Makasi ya Pak.."  -__-
Bapak I : "Yaa.. Nah itu Bapak E ngga kamu salim? Dia udah liat tuh.."
Gue : "Bapak E nya lagi nelpon Pak, lagi sibuk.."

Tiba-tiba Bapak E menutup telepon.

Bapak E : "Siapa bilang saya sibuk? Ini saya nungguin lohh~"
Gue : *jalan ke meja Bapak E, salim cium tangan
Bapak I : "Sama Ibu L ngga? Tar kan kecemburuan sosial.."
Gue : *jalan ke meja Ibu L, salim cium tangan
Bapak I : "Sama Ibu H? Sama Bapak R? Sama Mbak D?"

Lalu guepun berakhir dengan salim dan cium tangan ke semua dosen yang ada di ruang prodi. 
Bad luck, dikerjain abis-abisan sama Bapak I     T____T

Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.


Chairil Anwar - Februari 1943

Packing..

Ahh, ini kardus terakhirku
Aku rasa aku sudah siap


untuk pergi,
atau tetap tinggal

....... Just ask :)


Much  Love

Putri

Gajebo

Seharusnya dalam mengambil suatu keputusan, saya harus mempertimbangkan baik-baik untung ruginya. Semua pilihan mengandung resiko, dan mau tak mau saya harus bisa bersikap gentle menghadapi resiko itu.

Seharusnya begitu ya.

Ini pilihan saya. Saya yang akan mempertanggungjawabkan apa yang saya pilih.

Masalahnya, terkadang saya terlalu sok tahu. Saya terlalu yakin pada kesan yang saya ciptakan sendiri, padahal 'kesan' itu hanya sebuah harapan dari hati kecil saya
Masalahnya, saya selalu menutup mata karena takut kalo kenyataan yang saya lihat berbeda dengan apa yang saya sugestikan di pikiran saya.
Masalahnya, saya ini pengecut. Meskipun sudah mengambil suatu keputusan, saya tidak berani menghadapi resikonya.
Masalahnya, saya sudah memprediksikan kemungkinan buruk apa yang terjadi tapi saya tetap ngotot memanipulasi pikiran saya untuk bisa menerima semuanya.

Lagi-lagi berteori dan berandai-andai.

Ahh Putri, kamu ini bodoh dan payah sekali. T______T

Ini Budi

Satu minggu yang lalu gue whatsappan dengan temen SD gue, sebut saja Sari, yang sekarang kerja di Jakarta. Temen gue ini adalah seorang gadis yang cantik, dan kita akrab banget dulunya. Lalu ketika gue pindah ke Bengkulu, praktis kita jadi ga pernah ketemu karena kita udah ga sekampung lagi. Lama ga ketemu tentunya banyak cerita masing-masing yang udah gue dan dia lewatkan dan ujung-ujungnya kita cuma membahas masa lalu karena cerita kita di masa sekarang udah ga nyambung lagi. Pertama kita basa basi sekitar kuliah/kerja dimana sekarang, lagi ngapain, cowoknya siapa, lalu gue iseng bertanya tentang masa lalu yang gue sendiri berusaha ngelupain karena gue malu sama diri gue sendiri, sama temen gue ini, dan sama cowok gue (waktu itu).

Jadi ceritanya begini.

Waktu SD gue punya temen sekelas namanya kita anggap aja Budi. Budi ini lumayan cakep, dan waktu SD Sari sering diledekin sama dia (yang ujung-ujungnya kalo ga salah si Sari jadi beneran suka. Gue sendiri kalo ada yang nyoba-nyoba ledekin gue sama cowok, siap-siap aja resikonya bakal membiru dan kena makian "Apak ang baruak! (read : bapak lu monyet!)" dari gue. Suatu hari sepulang sekolah si Budi minjem buku catatan gue. Gue ga mau karena gue paling males sama orang yang males (padahal sekarang gue ini pemalas -__-). Jadi si Budi ini ngikut-ngikutin gue pulang.

Budi : Ayoklah Put, kan kita teman..
Gue : Gue bukan temen lo!
Budi : Kalo gitu, kan kita pacaran..
Gue : Apak ang baruak! *emosi banget karena paling males dibilang pacar-pacaran.

Kemudian waktu berjalan dan sekitar tahun 2003 dia sering main ke dekat rumah gue karena dia satu geng sama cowok gue waktu itu, gue mulai diledekin sama dia karena (katanya) dia sering nanya-nanyain gue. Gue dulunya adalah tipikal orang yang mudah GR kalo ditanya-tanyain karena gue emang jelek banget. Dan begitulah, akhirnya kita sama-sama tamat dan dia pindah ke Bandung tanpa gue tau gimana perasaan dia sebenarnya.

Lama ga kontak, lebaran 2007 dia pulang ke Bukittinggi. Saat itu gue masih kuliah semester 1. Kita ketemuan dan jalan (iya jalan berdua, padahal ini posisinya gue udah punya cowok) sebelum gue balik lagi ke Padang. Pas jalan dia ngeliatin hpnya yang wallpapernya adalah foto gue yang dia ambil dari hp temen gue. Gue GR dong ya, apalagi pas dia ngeliatin foto-foto gue yang dia pindahin dari hp temen gue itu. Kemudian dia ngegombal bla bla bla dan nganterin gue naik travel. Lalu sepanjang perjalanan gue curhat sama Sari via sms. Dan malemnya, tau ga si Sari bilang apa?

Sari bilang, "Malam ini dia nembak aku Put..!"

JEGERRR!!! (ceritanya ini suara petir)

Malu ga sih lo? Ketika gue udah kegeeran dan cerita kalo kemungkinan "gue bakal ditembak sama si Budi dan gue bakalan galau pilih Budi apa cowok gue", tau-tau si Budinya malah nembak Sari dengan alasan dia udah suka sama Sari dari SD. Gue antara malu, kesal, marah, sekaligus merasa bersalah. Merasa bersalah dengan cowok gue waktu itu, mungkin gue kena karma karena gue malah jalan sama cowok lain dan nyalahgunain kepercayaan dia.

"Trus kamu terima?", tanya gue ke Sari. Sari bilang dengan tegas kalo dia ga mau nerima cowok kayak gitu karena Budi itu brengsek seolah-olah ngadu kami berdua.

Tapi ga lama kemudian gue denger gosip kalo Sari jadian sama Budi. Sumpah waktu itu hati gue sakit banget, mana si Sari pura-pura ga ada apa-apa gitu kalo deket gue sehingga yang pure GR dan ga ada perasaan cinta ke Budi tetep aja sakit hati dan ngerasa terkhianati oleh mereka berdua. Hahaha. Sejak saat itu gue menghindari reunian SD kalo Budi ikut karena gue males ngeliat dia. Sok kegantengan banget.

Kembali ke whatsappan gue dan Sari barusan.

Penasaran, gue menanyakan soal kenapa dulunya dia jadian sama Budi, yang dari dulu ga pernah gue tanya karena gue malu. Dan mengalirlah cerita dari Sari tentang masa-masa dia jadian sama Budi, mulai dari menjawab rasa penasarannya waktu SD dulu lah, posesif dan noraknya si Budi inilah, dan sebagainya sehingga dia cuma pacaran beberapa bulan saja dengan Budi.

Dalam hati gue tersenyum. Ah itu semua udah berlalu, dan apapun yang terjadi waktu itu, ga bakal ngaruh sama kehidupan gue sekarang. Tapi jujur dalam hati gue masi males ketemu dengan Budi suatu saat nanti, mungkin karena gue masih ilfil sama dia. Entahlah. Hahaha.
Back to Top